SUKU MOSUO, " KERAJAAN WANITA " YANG TIDAK MENIKAH.
INFORMASINOW.COM
byRaisALembuduT, 0 8 A p r i l 2018
byRaisALembuduT, 0 8 A p r i l 2018
MamAAncaILegendS@ Pola matriarki atau dominasi wanita
dalam memimpin dengan sistem otoritas yang diturunkan dari pihak wanita,
umumnya jarang ditemukan di Indonesia bahkan dunia. Namun, sebuah suku yang
berada di kaki gunung Himalaya masih menerapkan sistem ini dan menjadi
satu-satunya 'kerajaan wanita' di daerah lembah Yunnan, barat daya China.
Mosuo. Suku yang tinggal di tepi Danau
Luga itu merupakan sebuah komunitas suku kuno dari umat Buddha Tibet. Mereka
hidup dengan persamaan gender, para wanita memiliki kesempatan untuk memilih
pasangan seksualnya, bekerja, memiliki anak, menentukan pilihan hidup, hingga
merawat orang tua. Wanita dari suku ini juga boleh
memiliki dan mewarisi properti, bertani, mengurus rumah tangga, seperti
memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak. Bahkan, mereka juga dapat
melakukan pekerjaan pria, seperti membangun dan memperbaiki rumah, membajak, serta
membuat keputusan besar dalam keluarga.
Suku Mosuo tidak menjalani pernikahan
seperti masyarakat pada umumnya. Mereka bebas untuk tidur dengan pria manapun
yang diinginkan, tanpa ada ikatan pernikahan. Wanita di suku ini akan
mendapatkan kamar tidurnya sendiri begitu ia dianggap sudah dewasa secara
seksual dan diperbolehkan untuk mengundang pria yang disenangi untuk tidur
dengan mereka. Pria yang mengunjungi dan tidur
dengan seorang wanita harus meletakkan topi di pegangan pintu tempat wanita
tersebut tinggal, sebagai tanda bagi pria lain agar tidak masuk. Kegiatan ini
disebut dengan axia. Axia bisa berlangsung pada satu malam
atau bahkan lebih, sehingga bisa menjadi cara mendapatkan keturunan bagi wanita
suku Mosuo. Hal ini disebut dengan 'pernikahan berjalan'. Anak yang lahir dari
pernikahan berjalan akan diasuh oleh ibunya dengan bantuan saudara kandungnya.
Para pria di suku ini tidak memiliki
tanggung jawab sebagai seorang ayah, seperti memberi nafkah atau tinggal
bersama dan mendidik anak-anaknya. Tidak ada stigma dari masyarakat setempat
bagi orang yang tidak mengetahui ayah biologisnya, sehingga menjadi hal yang
wajar apabila masyarakat di suku ini tidak mengenal siapa ayah mereka. Karena tidak punya kesempatan untuk
hidup bersama dengan wanita yang diinginkan dan anak-anaknya, para pria akan
memiliki hubungan yang erat dengan anak dari saudari mereka. Kemajuan zaman membuat anak-anak muda mulai pergi dari daerahnya dan bahkan menikah dengan
orang-orang yang berasal dari daerah lain. Suku ini berada pada kondisi yang
'terjepit', karena masih bertahan dengan sistemnya ditengah kemajuan yang
terjadi.
Keajaiban Mosuo, "Kerajaan Perempuan" Terakhir di Cina
Seorang pemuda—biasanya di atas 13
tahun—diam-diam masuk sebuah rumah tradisional terbuat dari kayu-kayu tua.
Hampir semua penghuni rumah itu sedang tidur karena jam sudah menunjukkan waktu
istirahat. Ia menjaga langkahnya agar tak berisik, pria itu mengendap-endap
menuju kamar seorang perempuan. Di malam lain, di rumah lain, ia mungkin tak
akan berjalan melewati lorong seperti yang dilakukannya malam itu—bisa saja ia
memanjat tangga kemudian mengetuk jendela kamar sang perempuan, tergantung
struktur rumah yang dimasukinya.
Sampai di kamar, sang pemuda justru
disambut girang si gadis. Dipandu gejolak syahwat, mereka bersenggama. Esok
paginya, sebelum matahari terbit dan seisi rumah itu bangun, sang pemuda sudah
pergi. Tabiat tersebut tak cuma dilakukan
malam itu saja. Hampir tiap malam, ia pindah-pindah rumah, gonta-ganti
pasangan. Sang perempuan yang malam itu tidur dengannya juga sudah tak
terhitung menyambut berapa banyak pria di kamarnya. Kadang ibu atau neneknya
mendengar derap langkah di malam buta, dan tahu kalau anak perempuan mereka
menyambut pria di kamarnya, tapi membiarkannya. Bagi mereka, urusan itu adalah
privasi yang tak perlu dicampuri.
Di desa mereka, seks bebas itu
disebut “axia” alias “walking marriage” alias “perkawinan berjalan”.
Di sana, warganya memang tidak
mengenal pernikahan seperti yang dikenal dunia arus utama: tak ada ijab kabul
atau janji setia sebelum sumpah “I do”. Pria dan wanita tak mesti menikah jika
ingin melakukan seks atau beranak. Pernikahan dinilai terlalu mengikat dan
pelik. Semua itu adalah buah dari budaya matriarkat—sistem sosial dengan ibu
sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga—yang mereka anut. Dalam suku
mereka, perempuan diperlakukan superior. Sehingga akhirnya, tak ada stigma
buruk yang melekat pada para perempuan dalam sistem perkawinan berjalan.
Suku itu bernama Mosuo.
Mereka tinggal di provinsi Yunan dan
Sichuan, Cina. Tepatnya di pinggiran Danau Lugu, di kawasan Yongning, Yanyuan.
Dekat tepi Gunung Himalaya dan berbatasan langsung dengan Tibet. Desa itu juga
dikenal sebagai “Kerajaan Wanita” atau “Tempat Matriarkat Terakhir di Cina”. Di tengah dunia yang dikepung sistem
patriarkat—sistem sosial dengan ayah sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga—Mosuo
jadi menarik untuk disorot. Broadly bahkan menyebut Mosuo sebagai tempat
terakhir matriarkat terakhir di dunia. Banyak penelitian memang mengungkapkan
bahwa matriarkat adalah barang langka di dunia.
Peggy Reeves Sanday dari Universitas
Cornell juga sepaham, dan menceritakan kalau matriarkat yang dimaksud sering
disalahidentifikasikan dengan matrilineal—kata sifat yang menggambarkan
hubungan keturunan melalui garis kerabat wanita. Dalam bukunya Women at the
Center, Sanday mencontohkan Minangkabau sebagai salah satu suku di dunia yang
masih memelihara matrilineal dalam sistem sosialnya, tapi sama sekali tidak
memelihara sistem matriarkat. Alasannya, suku yang mayoritas hidup di Sumatera
Barat, ini juga identik dengan Islam yang memakai sistem patriarkat.
Choo Waihong mantan pengacara sukses di
Singapura keturunan Cina, mengunjungi Mosuo karena
keunikannya tersebut. “ Aku tumbuh di dunia tempat para pria adalah bosnya ”,
kata Waihong pada The Guardian. " Ayahku
adalah tipikal pria klasik dalam masyarakat patriarkat Cina di
Singapura, dan aku tak tertarik dengan aturan yang menghususkan pada keunggulan pria. Aku selalu feminis
seumur hidupku, dan Mosuo adalah tempat perempuan jadi pusat masyarakat mereka.
Itu adalah hal menginspirasi,” ungkapnya Waihong. Kini Waihong akan bolak-balik Singapura-Cina tiga sampai empat kali dalam setahun,
untuk tinggal beberapa bulan di sana. Kepada The Guardian, ia juga bercerita
tentang Ladzu 22, putri baptisnya keturunan asli Mosuo, yang banyak mengajarinya bahasa dan segala hal tentang budaya Mosuo.
Ia jadi paham banyak hal. Misalnya,
tentang pembagian peran perempuan dan pria dalam kehidupan sehari-hari suku
Mosuo. Perempuan berperan sebagai pemimpin rumah tangga, bekerja domestik
(seperti membersihkan rumah dan menyiapkan makanan) dan non-domestik (seperti
mencari nafkah: berkebun, beternak, atau berdagang). Ah mi, atau perempuan paling tua di
rumah, adalah kepala keluarga. Biasanya peran ini diisi oleh nenek yang
berkuasa atas rumah dan segala keputusan di rumah. Ia mengatur keuangan seluruh
anggota. Ah mi juga akan memilih pewarisnya untuk mengurusi harta serta
rumahnya.
Sementara pria cenderung tidak punya
peran apa-apa, selain memancing, mengasuh anak kecil, dan menyiapkan upacara
kematian, atau berperang dahulu kala ketika dibutuhkan. Laki-laki tidak punya
pekerjaan, dan cenderung hanya hidup untuk rutinitas malam hari alias bercinta. Sebab di Mosuo tak mengenal adat
pernikahan, adalah hal wajar seorang anak tidak tahu ayahnya. Anak
ditanggungjawabi ibu, dibesarkan nenek di rumah, dibantu saudara laki-laki sang
ibu jika ada. Tak seperti di tempat lain, di Mosuo tak ada stigma tentang hal
itu.
“ Bagi perempuan Mosuo, axia
seringkali dianggap sebagai nikmat kesesatan dari pekerjaan membosankan di
kehidupan sehari-hari mereka, sebagaimana para pria itu hadir sebagai tenaga
donor sperma belaka ”, kata Waihong.
drKumparanTravel, Rabu 7/3/2018.
" EMANSIPASI MUNCUL DI EROPAH, BUDAYA MOSUO LEBIH DULU MENGENALNYA "
S a i d b y MamAAncaILegendS@
Beberapa nama pepatah ini berunsur hiburan, sorry !!!
Komentar
Posting Komentar