ASIA TENGGARA DALAM BAYANG-BAYANG CENGKRAMAN DOMINASI CHINA.
INFOKOMNOW,COM
byPakeLee, 23/11/2018
AceTLegenD@ Benarkah ambisi politik untuk mendominasi di Asia Tenggara agar bisa menggantikan Barat ?, atau hanya sebuah persepsi yang berlaku di kalangan akademisi dan jurnalis yang secara tak kritis telah mengadopsi narasi pro-China, yang terbangun seiring meningkatnya aliran investasi dan pengaruh Beijing di kawasan tersebut?.
byPakeLee, 23/11/2018
AceTLegenD@ Benarkah ambisi politik untuk mendominasi di Asia Tenggara agar bisa menggantikan Barat ?, atau hanya sebuah persepsi yang berlaku di kalangan akademisi dan jurnalis yang secara tak kritis telah mengadopsi narasi pro-China, yang terbangun seiring meningkatnya aliran investasi dan pengaruh Beijing di kawasan tersebut?.
Untuk
mewujutkan dominasi tersebut maka dua hal yang menjadi tujuan pengembangan
peran mereka dikawasan tersebut yaitu pengembangan kekuatan militer yang tampak dalam pembangunan pangkalan
militer China di Laut China Selatan atau di Kepulauan spratly dan Kekuatan
ekonomi hal ini tampak beberapa tahun terakhir bahwa pertumbuhan ekonomi China
jauh lebih maju berbanding USA dan semakin tingginya perana ekonomi mereka di
Negara Asia tenggara. Kedua wujut
pembangunan pembangunan tersebut tergambar dalam pogram politik duia mereka
yang membangunan savting Belt of China yang dikebangkan untuk wilayah Asia tenggara.
Kenyataan
yang ada sekarang bahwa setiap negara
Asia sekarang lebih banyak berdagang dengan China daripada Amerika Serikat
(AS), sering kali dengan faktor dua banding satu—ketidak seimbangan yang baru
tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi China melebihi negara Amerika, sebagaimana
di laporkan New York Times. Dana
Moneter Internasional (IMF) memprediksi China dapat menjadi negara ekonomi
terbesar di dunia pada tahun 2030, kemajuan ini nantinya akan membuat system
ekonomi liberal ayang ada di Asia tenggara akan berkurang menuju ekonomi Sosial
(kurang liberal) bahkan gagasan ini akan berkembang ke peringkat dunia.
Dua
pemilihan umum di Asia Tenggara baru-baru ini menunjukkan spektrum yang
berubah. Pemilihan umum bulan lalu di Kamboja—yang merupakan sekutu paling
setia China di kawasan itu—dilihat oleh beberapa orang sebagai indikasi
seberapa jauh negara itu telah menjauh dari para pendukung Barat mereka, dan
makin mendekat kepada Beijing. Kamboja
meninggalkan demokrasi multi-partai untuk otoritarisme satu partai (mirip
dominasi Partai Komunis China di China).
Hal ini
merupakan pertanda satu
‘elemen domino’ pertama Kamboja yang jatuh dalam ambisi besar regional
China, untuk mendapatkan kontrol politik dan ekonomi atas kawasan di
dekatnya. Sebagaimana ungkapan
beberapa pihak oposisi di Kamboja yang diasingkan mengklaim bahwa negara itu
telah menjadi “koloni China” secara de facto di bawah Partai Rakyat Kamboja
(CPP) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hun Sen.
Kasus
pemilu di Kamboja, bagaimana AS dan Uni
Eropa menolak untuk mengirim pemantau pemilu untuk mengawasi pemilihan umum
tersebut dengan alasan proses itu “
tidak sah ” karena pembubaran partai
oposisi terbesar oleh pengadilan di negara itu. Washington sejak itu memberlakukan sanksi terhadap para pejabat Kamboja yang dipandang
memimpin tindakan anti-demokrasi dan
undang-undang baru diberlakukan bahwa
Senat AS dapat secara signifikan meningkatkan langkah hukuman.
Sejalan
dengan itu, beberapa analis melihat perjalanan mendadak Menteri Luar Negeri AS
Mike Pompeo ke Asia Tenggara sebagai
“ diplomasi parasut ”,
yang hanya menggarisbawahi persepsi regional Amerika Serikat di bawah
Donald Trump, yang mengakar kuat sebagai aktor yang tidak memiliki strategi
nyata untuk Asia Tenggara sebagai mana “ Poros Asa “ punya Barack Obama, sebuah skema yang digembar-gemborkan sebagai
komponen strategis dan ekonomi
yang menjadikan Asia Tenggara kunci bagi kebijakan Amerika untuk mengimbangi
China.
Makin
meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara terutama dilihat dari sisi pegaruh
posisi kuat jangka panjang AS, baik secara ekonomi maupun strategis serta banyak yang melihat kompetisi ini sebagai
permainan zero-sum di mana keuntungan China adalah kerugian Amerika. Pemerintahan Trump dalam banyak hal
melanjutkan skema Obama : Vietnam tetap
merupakan sekutu kunci, dukungan untuk negara-negara penuntut dalam sengketa
Laut China Selatan lainnya tetap kuat, penjualan militer tetap tinggi, dan
menahan ekspansi China masih menjadi alasan.
Dua
sekutu regional paling setia bagi China boleh dikatakan adalah Kamboja dan
Laos—dua negara yang kurang penting secara ekonomi dan strategis, bila
dibandingkan dengan mitra utama Amerika seperti Indonesia, Thailand, Singapura,
dan Vietnam. Filipina yang secara
historis pro-AS, kini agak condong kepada China di bawah Presiden Rodrigo
Duterte, meskipun sebenarnya ada pemerataan hubungan antara kedua kekuatan
tersebut alih-alih dominasi langsung China.
Gejolak
perpolitikan di Kawasan ini yang cukup penting, Malaysia— yang telah lebih dekat pada China telah mengalami
perubahan kepemimpinan dari Najib Razak ke Mahathir Mohammad dengan arah lain
(pembatalan kerja sama dengan China).
Thailand - Meningkatkan hubungan militer dengan Beijing
sejak kudeta militer tahun 2014 menyebabkan
kepanikan di Washington tetapi beberapa
insiden (tenggelamnya kapal turis) menunjukkan betapa rapuhnya hubungan
bilateral mereka.
Investasi
China kemungkinan akan memainkan peran dalam pemilihan presiden dan legislatif
di Indonesia tahun depan, mungkin secara negatif bagi Presiden Joko Widodo,
yang di bawah masa jabatannya China telah menjadi investor terbesar ketiga
Indonesia. “ Hubungan dengan China bisa menjadi racun bagi
(Jokowi) ”, Ujar SiDin Keith Loveard, analis senior dari
perusahaan risiko bisnis yang berbasis di Jakarta, Concord Consulting.
Persaingan
bagi USA dan China dalam memenangkan pengaruh kekuasaannya di Asia Tenggara
bahkan di Pelataran Dunia saat sangat Nampak, khusus dalam kekuatan Perdagangan
yang kini semakin mengukuhkan dominasi perdagangan/ekonomi China berbanding
USA. China lebih agresip dalam menjalin kerjasama
perdagangan/ekonominya dikawasan ini berbanding USA yang mengalami penurunan
perekonomiannya.
Proyek
Bantuan lunak China yang di kembangkan di Asia Tenggara bahkan seluruh dunia
bertujuan untuk memperkukuh diplomasi Negara tersebut, bahkan bantuan ini telah
menyentuh sebesar USA $ 1,5 milliar.
Kehebatan Program Bantuan Lunak China yang ditujukan membantu
pembangunan infrastruktur Negara lemah oleh sebagai kalangan di anggap sebagai
Jebakan yang akan membuat suatu Negara tak berdaya.
Anggapan
ini sangat terasa ketika Srilangka mendapat dana bantuan tersebut untuk
membangunan Infrastruktuurnya diantaranay Pelabuhan Internasional, tapi
kemudian tak mampu melunasinya dan China meminta konsesi pengelolaan pelabuhan
tersebut selama 99 tahun sebagai syarat pelunasan. Demikian dengan Maladewa yang saat ini terjerat
dalam program tersebut, Nepal, Pakistan yang kemudian membatalkan kerjasama
tersebut untk tahun berikutnya. Dana
bantuan Jebakan ini juga telah mengena dibeberapa Negara Fasipik seperti Fiji,
Veneatu, Samoa sebagian telah berjalan dan sebagian terpaksa dibatalkan program
bantuan tersebut oleh Negara pengguna.
Persaingann
dominasi kekuasan China akan terus berlanjut untuk mengukuhkan kekuasaannya
dan keamanannya bumi serta akan menjamin
stabilitas politik mereka secara global melalui beberapa program seperti Politik,
Perdagangan dan Keamanan. Di kawasan
Asia Tenggara kemampuan tersebut terlihat dalam kemampuan tersebut yang mulai
menggeser kekuasaan USA yang mulai menurun pengaruhnya sehubungan beberapa
krisis Negara tersebut dan kasus internal sesame Negara persekutuannya.
" KEKUATAN EKONOMI CHINA AKAN MENGGESER DOMINASI USA DI ASIA TENGGARA "
Said by AceTLegenD
Komentar
Posting Komentar