PETUALANGAN PERAHU BOROBUDUR 2003 HINGGA CAPE TOWN, DALAM EKSPEDISI JAKARTA – GHANA AFRIKA
INFORMASINOW.COM
byLaDollaHBantA, S a b t u, 2 7 A p r i l 2 0 2 4
OmDomITakuTLauTTimoRLegendS@ EKSPEDISI Samudraraksa Borobudur dimulai pada 15 Agustus 2003 dari Ancol, namun sebenarnya belum siap berlayar. Dari Marina Ancol memutar masuk Pondok Duyung untuk lego jangkar, karena masih banyak peralatan belum dipasang selain generator listrik yang masih rusak dan antena. Mujoko, anak lulusan IPB jurusan ilmu kelautan, selama dua hari berkeliling Kota Jakarta mencari baterai untuk generator but without generator perahu bisa “hilang” sebab alat itulah sumber listrik di perahu.
Pada acara pelepasan yang dilakukan Presiden Megawati Soekarno Putri hampir menjadi pangkal musibah. Setelah beliau meninjau perahu iapun melepaskannya ke laut lepas, perahu yang semula diikat tali di kiri dan kanan harus dilepas. Begitu bersemangatnya penarikan tali itu, Nick Burningham tak sempat mengelak saat tali menjerat kakinya dan ia pun terseret hampir jatuh ke laut pada Hari Jumat pukul 16.10, perahu masih berada di kawasan Marina Ancol, Jakarta Utara.
Perahu Samudraraksa Borobudur dengan panjang perahu 18,29 meter, lebar 4,25 meter, terbuat dari tujuh jenis kayu dengan tiang layar dari bambu, layar terbuat dari kain tetoron merek Famatex, serta bercadik bambu di kiri dan kanannya. Dua motor masing-masing berkekuatan 22 PK menempel di kiri dan kanan perahu, fungsinya untuk melakukan manuver ketika perahu hendak berangkat atau berbelok serta mendorong manakala perahu mati angin. Di bagian depan kanan, di luar perahu, terdapat “kamar mandi”, beberapa bambu disilangkan untuk pijakan kaki dan tempat ember bertali, diberi sekat agar awak lain di atas perahu tak bisa menonton. Jika ombak besar datang dari arah kanan maka pengguna pasti akan basah kuyup.
Di geladak tengah Perahu yang diambil dari relief Candi Borobudur ada ruang untuk istirahat, kiri-kanan perahu dipenuhi jeriken isi air bersih disamping bensin untuk persediaan generator dan motor tempel. Di palka kiri-kanan dipasang tempat tidur susun 17 buah, begitu sempit, seolah penggunanya tak perlu berpindah posisi tidur. Di bagian belakang ditata sebagai dapur, ruang nakhoda, tempat cuci piring, pompa air, kompor, persediaan minyak, dan tempat perabot makan.
Begitulah keadaan perahu yang dibuat pada abad ke-8 tersebut. Perahu berawak 16 orang multibangsa itu (Indonesia, Amerika, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan) akan berlayar ke Afrika melewati Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, dan berakhir di Ghana dalam jangka empat bulan. Di setiap pemberhentian akan dilakukan penggantian awak perahu, terkecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles-Madagaskar relatif dekat. Apakah benar-benar bisa ditempuh dalam empat bulan, semua tergantung kecepatan dan arah angin.
Dari tujuh awak perahu dari Indonesia yang mengikuti pelayaran Jakarta-Madagaskar, tiga di antaranya berasal dari Pulau Pagerungan, tempat perahu itu dibuat. Mereka memang pelaut: Julhan, ahli mesin motor; Muhammad Abdu, pelaut berpengalaman; dan Sudirman, tukang kayu yang ikut membuat perahu tersebut. Ketiganya merupakan tulang punggung pelayaran ini. Lainnya Niken Maharani (IPB), Shierlyana Junita (UI), Mujoko (IPB), dan IG Putu Ngurah Sedana kapten TNI-AL yang bertindak sebagai nakhodanya.
Pada 18 Agustus, pantai Cilegon tampak jelas dari perahu. Untuk menghindari karang Kepulauan Sayangan karena angina mati, mereka mendayung di kiri-kanan perahu sebelah kiri tim Indonesia dan sebelah kanan orang bule. Semangat mendayung begitu kuat, akibatnya perahu hanya berputar ke kiri karena tim Indonesia kalah kuat. Akhirnya motor dihidupkan, arah layar dibenahi dan secara perlahan perahu bergerak dan, 19 Agustus perahu bercadik itu pun masuk perairan Samudra Hindia.
Niken dari IPB salah satu peserta ekspedisi |
Perjalanan menuju Seychelles awak perahu dibagi dua kelompok, masing-masing bertugas selang empat jam. Setiap regu dibagi tugas untuk pegang kemudi, memompa air, menjaga depan dan mencek tali-tali, memeriksa galon-galon air apakah masih terikat erat, serta memasak, awak dari Indonesia pun dibagi ke dalam kedua kelompok tersebut. Niken dan Sherly lebih banyak bertugas sebagai penerjemah karena komando dipegang Nick Burningham, pelaut asal Australia, sehingga kala bertugas keduanya harus berlari ke depan dan ke belakang sambil berteriak menerjemahkan bahasa komandannya. Sementara petugas yang mengendalikan perahu terutama pasang-gulung layar dan pindah layar adalah para pelaut asal Pagerungan, Bajo, Sulawesi Selatan, yang tidak tahu bahasa Inggris.
Niken lalu belajar mengemudikan perahu, semula terasa berat lalu menjadi biasa. Mata ke depan, sesekali melihat kompas agar arah perahu tidak melenceng. Nick sering berteriak minta agar jangan sampai lupa menengok kompas. Namun, di tengah samudra luas di mana mata memandang hanyalah cakrawala, memang membuat jenuh. Hiburan satu-satunya jika melihat di kejauhan ada kapal atau melihat ikan- ikan beterbangan di sisi perahu. Kalau sudah begitu semua berteriak, semua naik ke geladak.
Ketika ombak reda dan Matahari muncul di cakrawala timur, keindahan laut pun seolah tiada duanya, “ Bagus sekali, saya tak bisa menggambarkannya ”, Ujar SiDin Mujoko ketika ditanya. Dan, pada tanggal 1 September, setelah melihat peta, Req Hill berteriak bahwa Seychelles tinggal separuh perjalanan lagi. Buleleng istilah Niken untuk awak non-Indonesia, berpesta memeriahkan perjalanan itu, akhirnya mereka sadar semua tergantung pada arah dan kecepatan angin. Pouria Mahroueian, awak dari Afrika Selatan, menjawab keceriaan itu dengan melantunkan lagu Blowing in the Wind dan lagu itu akhirnya menjadi lagu wajib pada saat kesepian, di samping lagu Krisdayanti, Menghitung Hari.
Esok harinya, tali penyusur layar muka bagian bawah putus tali itu menjorok di luar perahu, Julhan dengan cekatan menyusur bambu hingga di luar perahu dan menyambung tali tersebut. Sungguh pekerjaan yang mengagumkan bagi mereka yang melihat. Dalam keadaan bergoyang oleh ombak, Julhan dengan ringan meniti bambu hingga keluar perahu. Salah langkah, ia akan terpeleset dan masuk samudra. Ini untuk kedua kalinya tali putus. Sebelumnya, tali layar putus pada dini hari tanggal 26 Agustus. Maklum tali tersebut terbuat dari serat pepohonan pantai yang biasa digunakan pelaut zaman dulu.
Pada tanggal 12 September pukul 01.42 perahu Borobudur tiba di Pelabuhan Seychelles setelah mengarungi 3.300 mil dalam 26 hari. Dalam catatannya Niken menggambarkan pelabuhan tersebut sebagai berikut: “Qta” lego jangkar di depan gunung, cahaya Port Victoria tampak jelas dan indah. Semakin terang kota itu semakin cantik karena terletak di atas bukit, sementara air laut hijau jernih mengundang “Qta” untuk berenang.
Di Seychelles mereka menetap selama 17 hari untuk mengisi perbekalan dan menunggu kedatangan awak perahu yang baru. Di negara ini Shirley digantikan Muhammad Habibie, mahasiswa ITS Surabaya. Sementara itu, empat awak: Nick Burningham, Paul Bayly, Reg Hill, dan Pouria digantikan Corrina Gillard, Clair Armitage, Danielle Eubank, dan Richard Kruger. Polayaran selanjutna dari Seychelles menuju Madagaskar angin sering mati, membuat seluruh awak perahu harus bekerja keras. Selama dua hari angin mati, motor tempel di kiri kanan perahu hanya sedikit menolong, maklum tenaganya tidak seberapa. Kalau sudah begini, Muhammad Abdu, kepala dusun yang sudah banyak berlayar segera “berbicara” dengan angin.
Manusia tidak boleh mendahului kehendak-Nya, begitu Muhammad memberitahukan sikapnya di atas geladak perahu ketika berlabuh di Mahajanga, Madagaskar. Ditegaskannya sebagai manusia harus bersikap wajar, “ Jika merasa senang janganlah terlalu senang, tetapi jika merasa susah jangan terlalu susah ”, Cakap Besar SiDin Muhammad Abdu. Dalam setiap awal perjalanannya, ia selalu melafalkan Surat Al An-aam yang intinya kepasrahan kepada Tuhan, doa pasrah inilah yang membuatnya tegar dan yakin bahwa Tuhan selalu mendampinginya.
Perbedaan budaya ini sempat sulit dipadukan. Orang-orang Bajo yang begitu akrab dengan laut, bisa mendeteksi angin dengan cuping telinganya. Mereka tahu angin akan datang dari arah mana dengan mengandalkan daun telinga. Awan yang berarak bisa menjadi tanda apakah hujan juga membawa pusaran angin. Tetapi, bagi buleleng, mereka berpegang pada peta, kompas, kecepatan angin, dan ramalan cuaca. Mereka tidak mau lepas dari kompas, sementara para pelaut ini berpegang pada letak bintang-bintang di langit.
Kendala selama perjalanan membuat lambat walau akhirnya selamat sampai tujuan, Pelabuhan Mahajanga, 600 kilometer barat laut Antananarivo, ibu kota Madagaskar dan jarak sekitar 700 mil itu harus ditempuh dalam 17 hari, bandingkan dengan Jakarta- Seychelles yang 3.300 mil dalam 26 hari. WALI Kota Mahajanga, PageÆs, hari Selasa 14 Oktober 2003 naik perahu bersama para petugas imigrasi. Perahu sore sehari sebelumnya sudah masuk pelabuhan, mereka lego jangkar sekitar 300 meter dari dermaga. Di mana pun mereka berlabuh (kecuali di Marina Ancol) tidak akan merapat ke dermaga untuk menjaga agar cadik di kiri-kanan perahu tidak rusak terbentur dermaga.
Hari itu tercapai sudah alur perdagangan rempah-rempah Indonesia- Madagaskar. Setelah memperbaiki mesin motor tempel yang rusak dan mengikuti berbagai acara yang disiapkan KBRI Madagaskar, tanggal 25 Oktober perahu bertolak ke Afrika Selatan. Rute ini paling berbahaya karena harus melampaui Tanjung Harapan yang merupakan tempat pertemuan arus Samudra Hindia dengan Samudra Atlantik. Beberapa awak turun, termasuk Muhammad Habibie yang baru naik dari Seychelles, tanpa ada penggantian. Kini mereka tinggal bertiga belas, “ Niken insya Allah akan ikut sampai pelabuhan terakhir ”, Ujar SiGaluh gadis berjilbab itu mantap.
|
Komentar
Posting Komentar